Kamis, 07 April 2011

Panggung Protes Seniman

Manusia Dan Pandangan Hidup

Image

Salah satu adegan dalam Laskar Dagelan : From Republik Jogja With Love yang dipentaskan senimanseniman Yogyakarta di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (29/3).


Indonesia itu majemuk. Kemajemukan itu bisa dilihat dari kebudayaannya. Ketika kemajemukan itu hendak diseragamkan, lantas akan seperti apa Indonesia kita? Seniman Butet Kertaradjasa, Djaduk Ferianto, Agus Noer, dan beberapa seniman lainnya menggagas “Indonesia Kita” untuk menelaah kemajemukan Indonesia lewat budaya.Pementasan Laskar Dagelan menjadi salah satu bentuk protes para seniman ketika kemajemukan itu coba diseragamkan. Laskar Dagelan yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya (TIM) 29–30 Maret 2011 lalu merupakan awal dari serangkaian pentas yang akan digelar seniman-seniman ini lewat “Indonesia Kita”.

Laskar Dagelan merupakan satire yang dimainkan seniman-seniman Yogyakarta,ketika publik Yogyakarta “diobok-obok” lewat monarki,lewat gonjang-ganjing yang namanya keistimewaan. Lewat Laskar Dagelan,mereka memprotes lewat lelucon, lewat satire yang menggemaskan. Seniman Yogyakarta Marwoto, Susilo Nugroho (Den Baguse Ngarso), Gareng Rakasiwi, Trio Wisben,Joned,Yu Sri, Show Imah, Marjuki (Kill the DJ), hingga bintang tamu Hanung Bramantyo menampilkan drama plesetan Laskar Dagelan. Ini merupakan pementasan yang juga mengambil ide (plesetan) dari Drama Musikal Laskar Pelangi yang menghebohkan. Laskar Dagelan adalah pementasan yang menggabungkan antara seni tradisional dan kontemporer.

Penggabungan ini juga simbol dari betapa Yogyakarta saat ini tidak lagi seperti dulu. Kesenian tradisional masih tetap melekat erat, di satu sisi seni kontemporer juga terus berproses menyesuaikan diri dengan lingkungan. Artinya, kemajemukan kebudayaan di Yogyakarta juga bergulir. Saling sokong. Berjalan beriringan, bahkan jika harus berkolaborasi juga tetap layak. Dengan gaya plesetan dan guyonan ala Mataraman maupun ketoprakan, pentas ini mampu membuat penonton terhibur. Apalagi pentas musikal ini didukung gaya hip hop, saat Kill The DJ dan Jogja Hiphop Foundation tidak hentihentinya mengiringi setiap alur cerita dengan lantunan hip hop berlirik bahasa Jawa dan Indonesia. Kolaborasi seperti inilah yang membuat pertunjukkan ini terasa kekiniannya.

Gaya Marwoto dan Yu Sri yang besar di pentas ketoprak, Susilo Nugroho besar di Teater Gandrik, Wisben, Gareng Rakasiwi, dan Joned yang kerap manggung di pentas-pentas lawak panggung membuat penonton kerap terpingkal- pingkal. Belum ditambah dengan musikalisasi hip hop yang juga berlirik satire. Inilah sebetul proses ulak-alik antara Yogyakarta (Jawa) dan Indonesia yang tidak terelakkan. Meski dalam praktiknya setiap dialog kadang melenceng dari naskah dan ndlewer ke mana-mana khas ketoprakan, benang merah naskah tetap berjalan. Dalam lakon Laskar Dagelan: From Republik Jogja With Love pentas ini mengambil latar Yogyakarta yang damai dan toleran mulai diguncang isu RUU Keistimewaan DIY.

Belum selesai dengan gempa dan erupsi Merapi,warga Yogyakarta sudah kembali di guncang yang namanya keistimewaan. Dengan gaya satire,mereka melakukan protes dengan simbolisasi keraton Yogyakarta yang miring.Trio Punokawan (Wisben, Joned, dan Gareng Rakasiwi) yang memang sedang sepi job karena lawakan mereka kalah lucu dibanding anggota dewan melihat miringnya keraton ini dari berbagai sisi. Mereka yakin keraton tidak miring, tapi memang sengaja dibuat miring oleh penguasa. Trio Punokawan ini abai tak abai dengan kondisi ini. Mereka hanya berharap agar job mereka tidak lagi sepi.Bayangkan saja, polah tingkah anggota dewan saat ini melebihi para pelawak dalam hal melucu.

“ Kalau biasanya anggota Dewan itu ribut-ribut rebutan kursi, tapi sekarang juga ada anggota Dewan yang ribut rebutan kursi pesawat,” ujar Joned.“Lah, tapi dia kan juga orang Yogyakarta?” timpal Gareng Rakasiwi Kelucuan dari anggota Dewan inilah yang membuat job melawak mereka kini sepi. Utang pun menumpuk di gudeg Yu Sri.Karena persoalan inilah,dibantu Den Sus (Susilo Nugroho),Marwoto, Dibyo Primus, mereka membentuk Laskar Dagelan. Mereka hendak melakukan demo ke pusat. Dalam gelaran ini, tidak hanya satire soal pergulatan hidup para seniman yang coba mereka ulik. mereka juga mengangkat soal keistimewaan Yogyakarta, hingga percintaan antara orang pusat dengan kembang desa.Pentas ini juga penuh simbolisasi dari setiap pesan yang coba disampaikan.

Hadirnya Superman adalah salah satunya. Jika sebelumnya warga menyambut baik hadirnya Superman sebagai penyelamat Yogyakarta, kini justru pahlawan berjubah itu berperan sebagai intel yang mengobok-obok kedamaian wargaYogyakarta. Namanya saja warga Yogyakarta yang toleran, beberapa warga justru kerap menyelamatkan “intel”itu dari amuk massa yang menuduhnya sebagai copet. Laskar Dagelan merupakan pentas perdana dari rangkaian pentas budaya yang digelar “Indonesia Kita” yang digagas Butet Kertaradjasa.Ini merupakan forum dialog untuk memahami ke-Indonesia-an sebagai proses yang terus menerus diupayakan bersama melalui jalan kesenian dan kebudayaan.

Butet Kertaredjasa mengatakan, hingga saat ini orang masih terus mencari dan berproses untuk membentuk Indonesia yang diidealkan. “Karena untuk menjadi Indonesia tidak ada petunjuk final.Tidak ada garis finis, kecuali kesediaan berbagai wilayah budaya senusantara ini mau bertemu, membuka diri, saling menyapa, berdialog, dan melakukan tindakan-tindakan kebudayaan yang interaktif,” papanya.

Sumber : Seputar Indonesia




Tidak ada komentar:

Posting Komentar